Jumat, 10 Juni 2011

Dakwah Lewat Musik

Musik memang bahasa universal. Musik bisa digunakan untuk menyampaikan beragam pesan, mulai cinta, persahabatan, hingga dakwah. Kelenturan itulah yang dicoba beberapa pegiat dakwah untuk ditangkap dan diaktualisasikan. Tercatat beberapa penyanyi dan grup musik dakwah bermunculan, terutama di bulan suci Ramadan. Fenomena ini memang memunculkan pertentangan antara tuntutan dakwah dan teks agama yang melarang permainan alat musik tertentu. Beberapa kalangan menjadikan kegiatan dakwah Sunan Kalijaga dan Sunan Drajat sebagai justifikasi atas keabsahan metode dakwah ini.Tulisan berikut mengurai aspek hukum nyanyian/syair dalam prespektif fikih.

Sya'ir Islami/Nasyid
Disebut sya'ir/nasyid Islami karena di dalamnya tidak sedikit pun mengandung unsur-unsur kemungkaran atau sekedar bersenang-senang melupakan Allah SWT.
Ada beberapa model sya'ir Islami:
1.      An-Nasyid Ad-Dini
Sya'ir islami yang berisikan dzikir, mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan unggkapan akan sifat-sifat sorga dan neraka.
2.      Nasyidul Hub wal Munajat
Syair berisikan ungkapan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang sangat mendalam melebihi apapun. Biasanya sya'ir ini menggunakan bahasa sastra yang tinggi, bahkan terkadang menggunakan tamsil-tamsil yang sulit dipahami oleh orang awam. Sya'ir model ini biasanya dilantunkan atau ditulis oleh para awliya'. Terutama ketika kejiwannya sedang melayang dan dikuasai oleh perasaan khawf/takut, roja'/lapang dada mengharap rahmat Allah dan dikuasai oleh perasaan cinta kepada Allah atau RasulNya.
3.      Nasyid Nabawy
Sya'ir berisikan sejarah Rasulullah SAW, perjalanan hidupnya, mu'jizatnya, pujian-pujian kepadanya serta kepada para sahabatnya.
4.      Nasyidul Hikmah wal Maw'idhoh
Sya'ir yang berisikan petuah-petuah Islam serta hikmah-hikmah.   
Sya'ir/nasyid model-model inilah yang berkembang di kalangan para ulama' atau para sufi. Bahkan sejak masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Para ulama' hampir bersepakat atas kebolehan model-model sya'ir di atas. 
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, berkata:
Para sahabat Rasulullah SAW pernah melantunkan nasyid di samping Rasulullah SAW sedangkan beliau tersenyum. HR.Turmudzi.
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, berkata:
Sekelompok orang mendatangi sahabat ‘Umar bin Khotthob ra, lalu berkata:
Hai ‘Umar Amirul Mukminin, sesungguhnya kami mempunyai imam shalat. Apabila imam telah selesai shalat ia melantunkan sya'ir/nyanyian.
Umar berkata: Siapa itu?
Lalu disebutkan nama imam tersebut.
Umar berkata: Ayo berangkat kesana bersamaku, karena kalau aku sendirian kesana ia akan mencuriga aku mengawasinya. Kemudian ‘Umar ra berangkat bersama-sama dan menjumpai lelaki itu di dalam masjid.
Ketika orang itu melihat ada Umar ra, maka berdiri menyambutnya dan berkata: Wahai Amirul mukminin, apa keperluan anda datang kemari, jika anda mempunyai hajat kepada kami, maka kami yang seharusnya datang menghadap anda.
Umar menjawab: Celaka kamu! Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau telah melakukan perbuatan yang mencoreng aku.
Lelaki itu berkata: "Apa gerangan wahai Amirul Mukminin?"
Umar ra menjawab: "Apakah kamu bersenandung dalam ibadah kamu?"
Orang itu menjawab: "Tidak wahai Amirul Mukminin, akan tetapi aku memberi petuah kepada diriku sendiri."
Umar berkata: "Coba ucapkan, jika isinya kalimat yang bagus aku mengikuti kamu dan jika jelek aku akan melarang kamu."
Lalu orang itu melantunkan sya'ir:
وفؤادي كلما عاتبته
في مدى الهجران يبغي تعبي
لا اراه الدهر إلا لاهيا في
تماديه فقد برح بي
نفس لو كنت ولا كان الهوى
راقبي المولى وخافي وارهبي
وفؤادي كلما عاتبته
في مدى الهجران يبغي تعبي
لا اراه الدهر إلا لاهيا
في تماديه فقد برح بي
نفس لو كنت ولا كان الهوى
راقبي المولى وخافي وارهبي
Lalu ‘Umar ra menirukannya melantunkan sya'ir:
نفس لو كنت ولا كان الهوى
راقبي المولى وخافي وارهبي
Kemudian ‘Umar ra berkata:
"Seperti ini seharusnya para pelantun melantunkan sya'irnya."
Imam Syafi'i berkata:
Sya'ir adalah untaian kalimat, jika baik maka tentu baik pula dan jika jelek maka tentu jelek".
Imam Nawawi berkata:
"Tidak apa-apa melantunkan sya'ir di masjid apabila berisikan pujian-pujian kepada Nabi atau Islam, atau berisikan kalam-kalam hikmah, akhlaq-akhlaq mulia, zuhud dan lain-lain dari segala macam kebaikan".
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata:
Sesungguhnya semua sya'ir yang berisikan perintah untuk berbuat ta'at, hikmah, akhlaq mulia, zuhud dan lainnya dari segala perbuatan yang baik sebagaimana ajakan untuk ta'at, mengerjakan sunnah dan menjauhi ma'siat, maka hukum sya'ir dan mendengarnya adalah bagian dari kesunnahan sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.
Imam Al-Ghozali menulis bab tersendiri dalam kitab Ihya' ‘Ulumuddin tentang hukum melantunkan sya'ir, mendengar, tata cara dan pengaruhnya pada kejiwaan. Uraian Imam Al-Ghozali ini oleh sebagian ulama' dinilai yang paling lengkap dan luas. Sebab beliau tidak hanya menggunakan pendekat dalil naqli dari al-Qur'an, hadits Rasulullah SAW, atsar para sahabat serta pendapat para ahli fiqh dan sufi, bahkan secara gamblang beliau menjelaskan pula analog-analog logis yang mengesankan serta seberapa jauh pengaruh alunan sya'ir terhadap kejiwaan pelantun dan pendengarnya. 
Pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa lantunan sya'ir dan hukum mendengarkannya adalah sunnat jika dapat mendorong perbuatan yang sunnah dan mengingatkan akherat. Sebab wasilah menuju kebaikan adalah bagian dari kebaikan itu juga.


Anasyid Bid'ah
Yang dimaksud dengan anasyid bid'ah adalah lantunan sya'ir-sya'ir yang berisikan model-model sya'ir di atas, akan tetapi terdapat kemungkaran-kemungkaran didalamnya, seperti diiringi dengan alat-alat musik yang diharamkan atau dilantunkan oleh perempuan dihadapan laki-laki yang bukan mahromnya dan sebaliknya.
Disebut bid'ah karena dibungkus dengan dakwah yang seolah-olah bagian dari ajaran agama, sehingga perbuatannya diyakini sebagai bentuk ibadah. Sementara yang disebut bid'ah dalam istilah fiqh adalah; segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam. Alasan dakwah tidak dapat menjadi pembenar mengabaikan kemungkaran di dalamnya. Dakwah tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang justru merusak nilai dakwah itu sendiri. Tidak mungkin dakwah yang seharusnya mengajak kepada keta'atan beragama justru disampaikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Model nasyid seperti ini yang populer saat sekarang. Banyak kita saksikan terutama pada bulan Ramadan, penyanyi-penyanyi perempuan menyanyikan lagu-lagu Islami, terkadang shalawat dengan membuka aurat dan berdandan dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak ketinggalan pula beberapa alat musik mengiringinya.
Yang lebih memperihatinkan, terkadang beberapa ustadz atau kyai turut serta menyaksikan atau bahkan sengaja mendatangkan untuk acara-acara keagamaan.
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata:
Telah lewat penjelasan mengenai hukum nyanyian/sya'ir yang tidak disertai kemungkaran sebagaimana diatas. Yang dimaksud disini - pembahasan menganai hukum nyanyian yang diserta tari-tarian atau alat-alat musik - sesungguhnya apabila nyanyian itu diperbolehkan atau dimakruhkan, jika dibarengi dengan yang diharamkan, maka dengannya menjadi haram hukumnya. Dan apabila haram hukumnya, maka keharaman itu akan semakin berat dosanya karena bercampurnya sesuatu yang diharamkan.
Selanjutnya beliau berkata:
Berkata sebagian ulama' Yaman: Adapun hukum mendengar nyanyian pada waktu sekarang ini adalah diharamkan, karena didalamnya terdapat kemungkaran-kemungkaran, bercampurnya laki-laki dan perempuan.
Muchib Aman Aly
Wallohul muwaffiq ila Aqwamit Thoriq

Kamis, 09 Juni 2011

Tengkorak


Bagian kepala (os.cranium)
Bagian muka/wajah (os.splanchocranium)
Badan (os.trunca)
Ruas tulang belakang (os.vertebrae)
Tulang dada (os.sternum)
Tulang rusuk (os.costae)


Tulang gelang panggul (os.pelvis verilis)
Tulang anggota gerak
Tulang lengan (os.extremitas anterior)
Tulang tungkai (os.extremitas posterior)

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?



SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm